Dunia Public Relation
Kesempatan bisa datang kapan saja, dan di mana saja, dalam waktu yang tidak ditentukan. Saat kesempatan itu datang, tinggal diri kita yang harus bisa menggapainya untuk mencapai kesuksesan yang kita inginkan. Kira-kira seperti itulah gambaran yang bisa Anda dapatkan jika bertemu dengan wanita yang satu ini.
Pekerjaan lain yang menjadi tanggung jawabnya adalah mengajak pihak ketiga melakukan branding di katalognya. Ini dilakukan dengan sistem win win solution, yaitu pihak ketiga yang beriklan di katalognya bisa masuk ke event-event Sophie Martin yang melakukan fashion show yang sedikitnya dilakukan sebanyak 15-20 kali dalam sebulan. Ini yang harus di maintain oleh Dina sebagai manajer public relation. Ini juga berarti ia banyak bepergian ke luar kota untuk mendatangi fashion show yang diadakan untuk sekedar mensupervisi atau memberikan masukan. Ia pun perlu membuat standarisasi atas fashion show yang dibuat. Sebagai public relation pun ia perlu mempromosikan produknya secara off air dengan pemakaian produk di tv, majalah, atau film.
Apa yang menjadi tujuannya adalah mencoba menghilangkan dan menaikkan image Sophie Martin yang tadinya dari menengah bawah, dengan menekankan bahwa produk Sophie Martin ini memang bermutu, enak dipakai dan harganya terjangkau. Karena itu, kalau ditlik-tilik, kesemua aksesoris wanita modis ini bermerek Sophie Martin, dari mulai tas tangan, dompet sampai aksesoris wanita lainnya.
Dina yang senang bepergian pun, kesenangannya terpenuhi, lihat saja, weekend hampir tak pernah ia di Jakarta. Ketika ditanya apakah ia pernah merasa bosan? Ia pun menjawab, “Bagaimana ya? Soalnya karena saya senang sekali traveling, maka semuanya dijalankan dengan enjoy, apalagi kalau bepergian ke tempat-tempat yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya.” hampir tak pernah ia mempunyai waktu luang, tapi memang semuanya itu dijalani dengan senang, misalnya saja saat harus pergi mencari ide untuk koleksi baru, ia dengan bahagia berbelanja, meski itu bukan menjadi miliknya nanti, tapi ia senang sekali melakukannya. Kemana pun ia pergi tak lupa disempatkannya bergaya. Meski kelihatan menyenangkan, ia hampir setiap harinya datang jam 7 pagi dan pulang kantor dalam waktu yang tak tentu. “Tak tentu ya, tergantung apakah pekerjaan saya sudah selesai atau tidak. Biasanya hampir selalu saya pulang jam setengah tujuh. Yah, hitung-hitung nunggu macet selesai, ” jelasnya sambil tersenyum.
Ketika ditanya apa yang menjadi targetnya di masa depan, ia menjawanb masih begitu banyak yang harus dipelajari dan dikerjakannya, salah satunya di bidang pendidikan yang menurutnya akan sangat membantu pekerjaannya saat ini. Ia masih ada rencana untuk mengambil kuliah S-2 di bidang komunikasi. “Ini untuk melancarkan keahlian saya di bidang public relation ini. Apalagi makin lama memahaminya, saya makin tertarik untuk mengetahuinya lebih dalam,” katanya lagi. Dina pun mengakhiri wawancara karena hari itu, ia masih harus sibuk mencari ide untuk event selanjutnya “select couple” yang akan merepresentasikan brand Sophie Martin. Karena itu, jika dilihat, kalau kita mau tekun bekerja dan tahu bagaimana menggunakan kesempatan yang datang, kesuksesan pun bisa diraih, meski bukan berarti keberhasilan didapatkan semudah membalik telapak tangan. Kembali lagi, bekerja keras dan kemauan yang kuat menjadi kuncinya.
IDE HARAPAN DAN KENYATAANSungguh sangat menarik sebuah tulisan disalah satu ,mingguan bahwa “Humas bukan sebagai kameramen atau Fotografer”, bahkan tepat sekali bahwa hubungan masyarakat dengan personilnya tentu akan memacu dan menguasai berbagai informasi yang harus dikonsumsi oleh masyarakat luar, sebagai bentuk akuntabilitas lembaga di dalamnya, seluruh kegiatan personil yang terlibat dalam lembaga tersebut wajib diketahui oleh Humas sebagai lembaga Public Relatian (PR). Lebih lanjut lagi bahwa humas harus memposisikan diri sebagai juru bicara suatu lembaga.Pada dasarnya bahwa humas itu harus mampu berdiri di hadapan tapi jangan menghalangi, harus mampu berdiri di tengah tapi jangan merintangi, dan harus mampu berdiri di belakang tapi jangan sampai membebani. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Teddy Kharsadi 1/12 2004 dalam acara Bakohumas di Bali bahwa paradigma baru meliputi globalisasi, reformasi, otonomi daerah, perubahan ekonomi baru dan Indonesia Baru, Sehingga setiap orang dituntut untuk mampu menghadapi tantangan baru dan tuntunan baru, yaitu hak publik (informasi) dan demokrasi (HAM).
Dengan demikian hambatan terhadap efektivitas humas pemerintah, adalah apatisme publik, sikap negatif, anggaran dan SDM baik dari segi kualitas dan kuantitas. Bahkan dewasa ini humas dituntut menghadapi dan mempunyai fungsi yang beragam. Sedangkan keberadaan humas pemerintah tujuannya adalah menyampaikan informasi sebagai “laporan” kepada masyarakat, mengupayakan kerjasama aktif dan “kepatuhan” masyarakat serta mengembangkan dukungan masyarakat terhadap kebijakan peraturan pemerintah.
Hal tersebut bisa tercapai dengan semestinya manakala humas pemerintah bersikap profesional, yaitu “independensi” yang tinggi, orientasi tanggung jawab kepada masyarakat, pemahaman dan realisasi “etika dan standar” digambarkan oleh Teddy Kharsadi bahwa ada 7 prinsip Ronald Reagan dalam “memanage the news”, yaitu 1. perencanaan, 2. strategi, 3. Kendalikan arus informasi, 4. batasi akses pers kepada Presiden, 5. Sampaikan “hanya” permasalahan yang ingin dibahas, 6. Berbicara satu “suara”, 7. Ulangi pesan yang sama sesering mungkin.
Dalam kenyataannnya masalah-masalah yang sering dihadapi humas untuk menjalin hubungan dengan pers diantaranya “ Bad news is a good news Vs no No news is a good news”, kemudian Good Vs Bad journalists, Dealing with “suprises” too many media. Terlebih-lebih saat ini dengan penerbitan media tanpa harus mempunyai izin, maka banyak media dan mudah menjadi “wartawan”, yang menyedihkan bila media itu koleps wartawan tetap mengaku sebagai “wartawan” , yang lebih parah lagi humas sering dihadapkan pada kenyataan yang riil bahwa hampir seluruh komponen yang mendukung terbitnya sebuah media mengaku sebagai “wartawan” . Padahal bila ditelusuri mereka ada yang seharian sebagai loper, tenaga administrasi, fotografer, redaktur dan ada yang benar-benar sebagai jurnalis profesional. Namun semuanya bila berhadapan dengan dinas/instansi atau narasumber, bahkan kehumaspun mengakunya sebagai wartawan tulen dengan bermodalkan “kartu pers”, lebih parah lagi humas harus membayar Koran yang tidak ada tulisan hasil karyanya, menagih tulisan yang dibuatnya walaupun tidak ada unsur public relationnya, dianggap humas itu sebagai juru bayar “ATM” bahkan “wartawan” sekarang memposisikan diri sebagai “kuli disket”. Padahal jurnalis/wartawan itu adalah profesi yang mulia untuk membesarkan, mencerdaskan, mensejahterakan Bangsa Indonesia di Negara Republik Indonesia yang kita cintai ini dan mengangkat citra baik di mata dunia.
Telah banyak upaya-upaya untuk melakukan pembinaan terhadap “new comers” di bidang “news”. Tetapi untuk menutupi kelemahannya mereka sering menggertak dengan mengirimkan surat pengaduan kasus kepada instansi yang dianggapnya sebagai upaya “pembredelan” terhadap kebebasan pers dan dianggap menghalang-halangi kebebasan pers.
Namun apabila Infokom tidak mampu berperan dan tidak diperankan oleh pimpinan beserta seluruh stakeholder di bidang pers, bahkan yang dikembangkan sikap mencurigai terhadap kinerja Infokom yang berfungsi sebagai humas dengan harapan bisa memfasilitasi sinergitas kepentingan pemerintah, masyarakat dan industri pers, hanya akan merupakan harapan, angan-angan dan mimpi belaka dan kenyataannya akan terjadi “kesemuan”. “ JANGAN KORBANKAN IDEALISME, MORALITAS, KAIMANAN DAN KETAQWAAN KEPADA ALLAH SWT. HANYA UNTUK KEPENTINGAN SESAAT, INGAT KITA SEMUA AKAN MATI DAN MEMPERTANGGUNG JAWABKAN SEMUA YANG TELAH KITA PERBUAT”. Ya Allah lindungilah kami mahluk yang lemah dan bodoh ini. Amiin Ya Robbal Alamin.Bernas: YANG namanya hobi, apapun akan dilakukan. Karena hobi pula, maka sesuatu yang bagi orang lain mungkin dianggap tidak menarik, bisa jadi akan menjadi sesuatu yang tidak akan pernah bisa ditinggalkan oleh mereka yang memang hobi dengan hal itu.
Pun dalam hal pekerjaan. Ketika sudah hobi, maka mereka yang menggeluti pekerjaan itu akan tetap enjoy dengan pekerjaannya dalam kondisi apapun.
Selain menuntut skill dalam hal relationship, yang bersangkutan juga harus cukup menguasai hal-hal berkait dengan sales, peka terhadap perubahan pasar yang begitu dinamis, serta punya wawasan luas dalam hal telekomunikasi yang juga sangat cepat perkembangannya.
Mereka juga mesti running (berpacu) dalam segala hal. Termasuk saat menggelar berbagai program atau event.
“Kalau teman-teman PR hotel suka kerja overtime atau lembur, kami pun juga begitu. Hitung-hitung malah pekerjaan kami tidak lebih ringan. Sebab mesti bisa mengkombinasikan banyak hal mulai program sales atau marketing, program sosial ataupun program membangun citra.
Ini semua tidak terpisahkan dan harus dikuasai. Rasanya hanya di kantor pusat saja yang fungsi public relations benar-benar berdiri sendiri, sedangkan kalau di kantor cabang fungsi tersebut hanya sebagian dari tugas seorang ProComm”, paparnya panjang lebar.
Tak heran, tugas dan fungsi yang begitu besar, membuat seorang Deasy dan sejawatnya sering harus kerja lembur. Menuntut fisik yang prima serta siap bekerja di bawah tekanan. Kebetulan pula, sebagai perusahaan telekomunikasi, praktis iklim kompetisi dengan perusahaan sejenis juga sangat ketat.
“Jadi kami pun harus peka dengan apa yang telah dicapai kompetitor. Begitu terbiasanya mengendus kompetitor, maka saat di perjalanan pun bawaannya ngliatin media-media promo melulu. Pamrihnya cuma satu, gimana bisa berpromosi lebih baik dibandingkan pesaing. Sampai-sampai saya pernah dijuluki mata spanduken. Habis yang diliat spanduk melulu”, ujarnya tertawa.
Bukan berarti memungkiri kodrat sebagai seorang wanita, ketika Deasy mengaku tidak suka membeda-bedakan jenis kelamin dalam urusan pekerjaan. Yang ada di benaknya hanya satu, bagaimana tugas dan peran serta fungsinya sebagai seorang ProComm, bisa terlaksana dengan baik, sehingga image perusahaan semakin baik di mata umum.
“Di divisi ini memang saya yang paling senior. Saya berusaha membiasakan rekan-rekan untuk tidak membeda-bedakan jenis kelamin dalam urusan tugas dan pekerjaan, karena saya sendiri juga tidak terbiasa seperti itu. Bahkan saat hamil pun, tidak kendur ritme kerja, sehingga tidak jarang justru kawan-kawan yang khawatir bukannya saya”, kata wanita yang tidak suka rutinitas ini
PR writing :Teknik Penulisan Humas (Public Relations Writing) adalah keterampilan menulis (writing skill) khas Humas/PR dalam menghasilkan naskah-naskah yang diperlukan untuk kepentingan pencitraan positif dan popularitas perusahaan/organisasi. Tipe-tipe panulisan atau naskah PR dapat dibagi menjadi dua bagian:
- Berkaitan dengan Media Relations/Press Relations, seperti naskah press release (siaran pers), advertorial, dan press conference (press kit/media kit).
- Berkaitan dengan media promosi, informasi, dan komunikasi perusahaan/organisasi, seperti naskah untuk dipublikasikan di newsletter, in house magazine/Company Magazines, naskah laporan tahunan (annual report), company profile, leaflet, booklet, brosur, dan sebagainya.
Untuk menghasilkan naskah yang baik (good writing), Humas/PR harus memiliki keterampilan jurnalistik layaknya wartawan, seperti pemahaman tentang nilai berita (news values), bahasa jurnalistik (language of mass communications), kode etik jurnalistik, dan sebagainya.Untuk kepentingan publikasi yang luas, Humas/PR membutuhkan peran media. Karena itu, diperlukan sebuah hubungan yang baik dengan kalangan pers/media massa (Press/Media Relations). Agar hubungan itu tercipta dengan baik, Humas perlu mengenali dunia pers dengan baik pula, seperti karakteristik wartawan, format media, cara kerja wartawan/media, dan sebagainya.Siaran PersSiaran Pers (Press Release, biasa disebut rilis saja) adalah naskah berita (data atau informasi tentang sebuah kegiatan –pra ataupun pasca) yang disampaikan kepada wartawan atau kantor redaksi media untuk dipublikasikan di media tersebut. Dengan demikian, menulis siaran pers pada dasarnya sama dengan menulis berita seperti dilakukan para wartawan. Oleh karenanya, karakteristik dan struktur penulisan siaran pers sama dengan menulis berita.Karakteristik siaran pers adalah memiliki “nilai berita” (news values), yakni aktual, faktual, penting, dan menarik. Struktur penulisannya pun sama dengan dengan penulisan berita, yakni terdiri dari head (Judul), dateline (baris tanggal), lead (teras berita), dan news body (tubuh atau isi berita). Berita sendiri artinya adalah laporan peristiwa atau peristiwa yang dilaporkan oleh media massa.Kiat menulis siaran pers:
- Tulis dengan gaya penulisan berita.
- Jangan terlalu panjang – cukup satu lembar.
- Langsung ke masalahnya dengan segera.
- Penuhi unsur berita 5W+1H.
- Berikan lebih dari satu nomor kontak –nomor telpon kantor, kontak pribadi, HP, e-mail, dan fax.
- Jika memungkinkan, buatlah usulan mengenai orang-orang yang dapat diwawancara.
- Cek/konfirmasi siaran pers yang sudah dikirimkan melaui fax, surat, atau e-mail.
- Jika perlu, seratakan ilustrasi foto, tabel, atau grafik atau bahan pendukung lainnya –makalah, naskah pidato, susunan acara, dsb.
- Tuliskan pada kertas berkop-surat sehingga benar-benar resmi.
- Tandatangani oleh pejabat paling berwenang, misalnya manajer humas, ketua panitia, dan/atau ketua lembaga/perusahaan.
- Jika bersifat individu, misalnya artis, pakar, pejabat, ataupun warga biasa, sertakan fotokopi identitas.
Surat PembacaSurat Pembaca (letter to the editor) mirip siaran pers, terutama dalam hal teknis penulisan dan pengiriman. Yang membedakan adalah dalam hal isi dan tujuannya. Isi dan tujuan surat pembaca biasanya merupakan tanggapan, sanggahan, klarifikasi, atau penggunaan Hak Jawab dan Hak Koreksi atas informasi yang dinilai salah dan merugikan. Surat pembaca berupa tanggapan, biasanya diawali dengan mengutip berita atau surat pembaca yang sebelumnya sudah dimuat, sehingga pembaca dapat mengetahui latar belakang masalah yang diklarifikasi.Advertorial (adv)Advertorial = advertising dan editorial. Gabungan antara promosi dan opini atau pemberitaan tentang hal yang dipromosikan –produk, jasa, perusahaan, organisasi, aktivitas, atau program pemerintah. Bentuk tulisannya bisa berupa berita, feature, atau artikel. Advertorial sering disebut iklan dalam bentuk pemberitaan atau tulisan panjang.Jenis advertorial a.l. adv produk, adv jasa, adv perusahaan, dan adv pemerintahan. Sifatnya bisa informatif, eksplanatif, interpretatif, persuasif, argumentatif, dan eksploratif.BrosurBrosur (Brochure) adalah selebaran cetakan satu halaman kertas yang terlipat dua atau lebih, berisi keterangan, informasi, atau gambaran tentang sebuah perusahaan, instansi, produk, atau jasa, atau bisa juga berisi sebuah ide dan kegiatan.Jenis selebaran promosi sejenis brosur adalah booklet, yakni buku kecil tanpa jilid/cover berisi informasi dan gambar tentang suatu produk atau jasa. Bisa juga terdiri dari beberapa lembar kertas sehingga menyerupai buku. Penyebarannya sama dengan brosur, yakni dibagi-bagikan langsung kepada publik.Sarana promosi mirip brosur adalah flyer, pamflet, leaflet, atau poser, yakni lembaran utuh tanpa lipatan/tidak terlipat. Pamflet (ukuran satu halaman kertas print), leaflet (ukuran kertas kecil), dan poster (”surat tempelan”, ukuran kertas besar) disebarkan dengan cara ditempel. Flyer biasanya digantung.Ada juga yang disebut folder. Bentuknya mirip map, namun berisi banyak informasi dan bagian dalamnya terdapat kantung untuk menyimpan aneka berkas seperti surat, brosur, leaflet, kartu nama, dan sebagainya. Folder dapat berfungsi sebagai tempat penyimpan berkas informasi atau promosi.Press Conference/Media KitKonferensi Pers (Press Conference) – undang media untuk menyampaikan informasi, dilakukan tidak rutin, insidental sesuai acara yang digelar, baik sebelum maupun sesudah kegiatan.Media Kit adalah bahan tertulis sehingga kalangan pers memiliki data akurat dan lengkap sebagai bahan berita. Bahan tertulis ini bisa berupa siaran pers, susunan acara, makalah, artikel, feature, bosur, proposal, atau informasi lengkap tentang kegiatan –tujuan, jadwal, target, kepanitiaan, daftar pengisi acara, dsb.—dan dimasukkan dalam sebuah map atau amplop besar.Naskah PidatoNaskah pidato biasanya dilakukan penulis khusus yang disebut scriptwriter. Namun, ada punya petugas humas yang ditugaskan menulisnya. Naskah pidato terdiri dari bagian pembukaan, isi, dan penutup. Ditulis dengan gaya bahasa tutur (spoken words) atau gaya bahasa percakapan (conversational language) karena naskah itu untuk diucapkan, dibacakan, atau disuarakan.NewsletterNewsletter secara harfiyah artinya “laporan berkala” atau “surat berita”. Merupakan media informasi dan komunikasi internal sebuah lembaga, biasanya terdiri dari dua hingga delapan lembar kertas kwarto atau folio, tanpa cover seperti majalah atau buku. Isinya bervariasi mirip majalah, misalnya agenda dan berita kegiatan, artikel, feature, gambar, dsb.In House MagazineIn House Magazine atau Company Magazines adalah majalah internal sebuah lembaga/perusahaan. Desain atau tampilan dan rubrikasinya seperti majalah umum/komersil, namun isinya tentang informasi seputar “dapur” lembaga. Mengelola In House Magazine, juga Newsletter, sama dengan proses manajemen media massa pada umumnya, yakni melalui proses redaksional dan membutuhkan keterampilan meliput dan menulis berita layaknya wartawan.Proses redaksional dimaksud adalah tahapan perencanaan (planing) –penentuan visi, misi, logo, moto, rubrikasi, editorial policy, dan style book; pengorganisasian (organizing) –penetapan susunan organisasi redaksi (pemred hingga reporter dan layouter); pelaksanaan (acting) –aktivitas jurnalistik seperti perencanaan liputan (rencana isi), peliputan, penulisan, editing, dan desain grafis, dan pengawasan (controling) –pengawasan dan evaluasi proses dan hasil kerja yang sudah dilaksanakan.*Referensi:
Public Relation Writing: Pendekatan Teoritis dan Ptaktis. Penulis: Dr. Yosal Irianto & A. Yani Surachman, S.Sos. Penerbit Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2006; Press Relation: Kiat Berhubungan dengan Media Massa. Penulis: Drs. Aceng Abdullah. Penerbit Rosdakarya, Bandung, 2000; Jurnalistik Terapan: Panduan Kewartawanan dan Kepenulisan. Penulis: Asep Syamsul M. Romli. Penerbit Baticpress, Bandung, 2004.
Ssstt, Ada Bisnis Empuk di Arena Politik!Sumber: Majalah Swa Sembada, Maret 2007 04/04/2007 16:00 Sejauh ini jasa survei (riset) termasuk di antara jasa yang paling dibutuhkan para tokoh politik. Terutama sekali untuk memantau reputasi mereka di mata publik. Selain jasa survei, di pentas ini pula berkembang jasa konsultasi pemenangan pemilu, konsultan branding dan public relations (PR). Bahkan, muncul pula bisnis pengerahan massa untuk mendukung atau menolak tokoh politik tertentu, meski untuk yang terakhir ini biasanya dilakukan atas nama kelompok massa tertentu, bukan dengan memakai ”baju” korporat. LSI termasuk salah satu pemain yang paling aktif menggarap bisnis berbau politik ini.Bisnis memang bisa digali di mana saja, termasuk di arena politik. Khususnya bagi mereka yang bergerak di jasa kehumasan (public relations), personal branding, survei (polling), dan semacamnya. Maklum, kini makin banyak saja tokoh yang ingin tampil dalam rangka memperebutkan suara publik. Entah untuk menjadi kepala daerah, anggota legislatif, ataupun jabatan politik lainnya. Kalau dihitung-hitung, bisnis yang bisa digarap memang cukup menggiurkan. Setidaknya bisa dilihat dari jumlah pemilihan langsung di Tanah Air. Ada pemilihan untuk 500 anggota DPR; 33 gubernur, serta sekitar 460 pemilihan untuk jabatan bupati dan wali kota. ”Situasi politik yang berubah kini membawa pasar baru,” kata Denny J.A., pemilik perusahaan riset politik Lingkaran Survei Indonesia (LSI), mengakui.Bila diamati, sejauh ini jasa survei (riset) termasuk di antara jasa yang paling dibutuhkan para tokoh politik. Terutama sekali untuk memantau reputasi mereka di mata publik. Selain jasa survei, di pentas ini pula berkembang jasa konsultasi pemenangan pemilu, konsultan branding dan public relations (PR). Bahkan, muncul pula bisnis pengerahan massa untuk mendukung atau menolak tokoh politik tertentu, meski untuk yang terakhir ini biasanya dilakukan atas nama kelompok massa tertentu, bukan dengan memakai ”baju” korporat.LSI termasuk salah satu pemain yang paling aktif menggarap bisnis berbau politik ini. Menurut Denny – peraih gelar master dan Ph.D dari Amerika Serikat – LSI memiliki beberapa divisi bisnis. Antara lain Divisi Riset, Divisi Mobilisasi (penggalakan dukungan suara), dan Divisi Public Interest (mengurusi publikasi terkait dengan pencitraan). Sejauh ini dari tiga bisnis LSI, yang paling menonjol adalah bisnis riset politik. Tak heran, iklan LSI di berbagai media cetak umumnya mempromosikan akurasi hasil risetnya untuk berbagai pemilihan kepala daerah (pilkada).Denny yang awalnya membantu tim pemenangan pemilihan presiden untuk SBY, mengaku memulai usaha dengan modal sekitar Rp 600 juta (belum termasuk pendanaan operasional survei dan gaji karyawan). Setelah membantu SBY, proyek berikutnya adalah membantu Ismeth Abdullah dalam rangka pemilihan Gubernur Kepulauan Riau. Sukses itu terus berlanjut, sehingga sampai sekarang LSI sudah menangani sekitar 200 klien. Saat ini LSI tengah membantu 12 calon gubernur di tahun 2007 dan 2008 (termasuk untuk Fauzi Bowo di DKI Jakarta). Tak heran, dengan bisnisnya yang basah ini LSI mampu menghidupi 16 karyawan tetapnya, ditambah sekitar 300 karyawan freelance di tiap wilayah pemilihan – yang kalau dijumlah keseluruhannya mencapai ribuan.Sebenarnya, cukup banyak perusahaan konsultan lain yang berbisnis seperti LSI. Hanya saja, kiprah dan promosi mereka tak sedahsyat lembaga besutan Denny. Menurut informasi yang diperoleh SWA, perusahaan riset kecil banyak yang melayani klien untuk pemilihan wali kota/bupati yang per proyek nilainya berkisar Rp 75-100 juta. Di samping itu, LSI juga lebih populer karena punya jasa riset perkiraan cepat penghitungan hasil pemilihan yang sudah di-branding bernama QuickCount.Selain lembaga survei, perusahaan yang bergerak di jasa PR juga kecipratan berkah dari euforia politik. Pasalnya, tak sedikit tokoh politik dan mantan petinggi militer yang menggunakan jasa seperti ini ketika mereka terjun ke kancah politik.Wimar Witoelar, pendiri dan pemilik perusahaan PR PT InterMatrix Indonesia, mengakui bisnis mem-branding tokoh politik ini memang berkembang. Hanya saja, ia mengatakan, perusahaannya saat ini tidak menangani proyek seperti itu. ”Dulu, terutama ketika pergantian rezim Soeharto, InterMatrix pernah mem-PR-kan beberapa tokoh politik, seperti Amien Rais dan Arifin Panigoro,” ujar Wimar. Pada kasus Arifin misalnya, waktu itu InterMatrix ditugaskan mengubah citra Arifin dari tokoh bisnis menjadi tokoh politik. Kontrak kerjanya selama tiga bulan, dengan dana 50 persen lebih tinggi dibandingkan dengan klien umumnya. Saat itu, ia menilai hasilnya cukup sukses. Buktinya, perusahaannya kemudian dipercaya untuk membangun citra Megawati di Jawa Barat.Menurut beberapa sumber SWA, diam-diam sejumlah perusahaan PR memang menerima klien-klien politik seperti itu. Banyak di antara klien itu yang merupakan pejabat Orde Baru yang ingin kembali ke pentas politik dengan citra baru. Hanya saja, berbeda dari klien korporat, perusahaan PR umumnya menangani klien politik ini tidak secara terang-terangan. Mungkin ini salah satu kiatnya. Maria Wongsonegoro, Presdir IPM Public Relations, mengakui untuk bisa menjadi konsultan personal branding di bidang politik memang butuh keahlian khusus. ”Selain harus punya pengetahuan kehumasan juga mesti memiliki cukup pengetahuan politik,” katanya. ”Penanganan kehumasan korporasi memang tidak serumit pembentukan citra tokoh politik,” ia menambahkan. Meski begitu, nilai proyeknya lumayan juga kan.